KUMPULAN CERITA HOROR INDONESIA

WISMA HAMBALANG

Cerita ini adalah pengalaman saya bersama om saya. Pada waktu itu sudah magrib. Om saya kebetulan datang sama teman-temannya, sebanyak lima orang. Om saya itu datang dari Salatiga dan ke rumah saya memang dalam rangka mampir. Mereka minta diantar oleh saya ke sebuah rumah di kawasan Hambalang. Mereka datang ketika magrib, lalu solat sambil menunggu waktu isya dan makan dulu ramai-ramai di rumah saya.

Setelah solat isya, mungkin sekitar setengah delapan, kita berangkat menuju rumah di daerah Hambalang. Om saya pada saat itu juga belum tahu karena kebetulan ada proyek. Dia dapat tugas untuk membuat sebuah fasilitas pembuatan pupuk organik di daerah Hambalang untuk memenuhi kebutuhan di seputaran Hambalang. Kita yang menuju ke sana semuanya sama-sama belum tahu mau menuju ke mana, rumahnya di mana. Hanya punya ancer-ancer bahwa rumah atau wisma tersebut ada di kawasan Wisma Atlet Hambalang di sekitaran Sentul.

Kita berangkat kira-kira jam setengah delapan malam dari rumah setelah kita makan. Kebetulan saya yang menyetir pada saat itu sambil mengajak teman-teman om saya dan pegawainya om saya. Kita berangkat menggunakan sebuah mobil Grand Vitara pada saat itu. Dari rumah setengah delapan kita masuk melalui tol JORR menuju tol Jagorawi. Kurang lebih perjalanannya waktu itu menempuh satu setengah jam sampai keluar tol dari Sentul kalau nggak salah.

Dari keluar tol itu kita langsung menuju ke alamat. Pada saat itu belum ada Google Maps, jadi cuman dapat ancer-ancer menuju rumah di dekat Wisma Atlet itu melewati jalan-jalan. Setelah keluar tol itu agak jauh. Jadi kita cukup berjalan menyusuri jalan itu melewati beberapa desa kecil. Jalannya cukup kecil. Beberapa menit kemudian kita sampai di sebuah perempatan yang agak tanjakan. Setelah melewati beberapa perumahan atau desa, seingat saya kita ketemu perempatan yang sepi, tidak ada tanda-tanda atau orang. Hanya perempatan yang tidak ada pos dan tidak ada manusia sama sekali.

Kita bingung sampai akhirnya kita telepon orang yang mau jemput kita. Ketika di perempatan itu, kita disuruh tunggu di situ. Singkat cerita, kita nunggu beberapa saat dan ada yang menjemput dengan mengendarai sebuah motor. Ketika motor datang, kita langsung dituntun menuju ke kawasan wisma tersebut. Ternyata dari perempatan itu, Wisma Atlet atau rumah yang kita tuju masih menempuh waktu beberapa lama.

Sepanjang jalan itu kita melewati rumah-rumah kecil yang rapat seperti pedesaan. Sepanjang jalan, kita cukup berpikir juga, "Ini kok jalannya kecil, terus kemudian tidak ada aspal." Jalannya seperti jalan desa, bukan aspal yang bagus. Di kanan kiri kita lihat ada banyak orang. Desa itu cukup ramai, tapi yang membuat kita heran, setiap kali kita ketemu orang, mereka melihat mobil kita seolah jarang banget ada mobil lewat situ. Mereka diam-diam melihat mobil kita seperti takjub, "Wah ada mobil," dan mereka diam. Lampu mobil Grand Vitara yang saya pakai kebetulan lampunya kebiru-biruan seperti LED, jadi ketika menyorot ke orang yang ada di pinggir jalan, kelihatannya mereka berwarna agak kebiruan, orangnya jadi kayak pucat biru. Tapi kita nggak mikir apa-apa, pokoknya kita jalan terus saja sambil mengikuti motor yang menuntun jalan, meskipun agak cepat.

Habis jalan, di situ ternyata lokasi wisma lebih ke wisma daripada rumah. Kita masuk ke sebuah gerbang besar. Seingat saya, masuk gerbang besar dan menyusuri jalan yang alang-alangnya sudah tinggi banget, hampir seperti masuk ke wahana Jurassic Park yang sudah abandoned banget. Begitu masuk, kita melewati jembatan kecil. Saya ingat banget, dan sampai agak lurus sedikit di depan ada lapangan cukup besar. Di sana kita parkir. Di sana memang tidak ada kehidupan kelihatannya karena tidak ada lampu sama sekali, benar-benar tidak ada lampu. Dan dua orang yang naik motor itu menuntun kita pakai senter besar.

Begitu kita datang, semuanya sambil ngobrol, "Bener nih di sini tempatnya?" Memang kita mau bikin semacam pabrik pupuk organik di situ. Tapi waktu itu, om saya maupun pegawainya sampai heran juga, "Kok tempatnya kayak gini ya?" Tidak lama kemudian, kita disuruh unpack barang-barang dan membawa tas masing-masing. Kita diarahkan oleh si penjaga kawasan itu. Ceritanya sepertinya si penjaga ini juga sudah lama nggak ke sini, jadi ayo cepat karena jalannya agak naik lagi. Dari mobil diparkir sampai ke rumah atau tempat tinggal yang kita disuruh tempati ini di atas, kayak jalan menuju agak bukit. Tapi jalannya bagus, kayak memang sudah jalan setapak yang dirancang untuk naik ke atas rumah itu.

Sambil jalan, kita melewati beberapa kamar-kamar kosong yang dulunya dipakai untuk semacam training center atlet-atlet sepak bola. Saya juga nggak jelas ceritanya bagaimana, cuma saya dengar waktu itu dari penjaga yang mengantar kita bahwa ini fasilitas untuk latihan atlet, tapi sudah lama nggak dipakai, jadi emang gelap gulita dan nggak terawat sama sekali.

Kita dianterin ke sebuah rumah besar sekali kayak mansion. Seperti rumahnya di Resident Evil. Begitu sampai, mereka membuka pintu dengan kunci, dan begitu dibuka baunya kayak bau rumah lembab dan bau jamur. Rumahnya gede banget, bagus. Begitu masuk, dua orang penjaga ini langsung menyalakan listrik. Kebetulan listriknya langsung nyala, semuanya langsung diterangi. Kita lihat di dalamnya lengkap, sudah ada sofa, semuanya ditutupin sama kain untuk menghindari debu mungkin. Si pegawai yang menjemput kita ditugasin oleh bosnya om saya yang punya fasilitas ini. Langsung dibukain semua jendela, pintu, dan kain-kain dicopotin semua. Om saya dan pegawainya akan tinggal di sini untuk beberapa lama untuk membuat produksi pupuk organik.

Kita bantu bersih-bersih, buka alat-alat sapu dan sebagainya. Ketika dibuka, udaranya seger banget, dingin. Mereka membuka untuk menghilangkan bau jamur dan debu. Sambil bersih-bersih, kita semua melihat-lihat mansion ini yang gede. Tiga orang di sana langsung pilih kamar. Kamarnya cukup hangat. Kita tidak ada feeling apa-apa ketika masuk mansion itu. Rumah ini cukup gede dan di ruang tengah ada meja biliar, fasilitasnya cukup mewah.

Setelah unpack barang-barang, sambil bantu bersih-bersih, dua orang yang mengantar kita juga bersih-bersih. Kita lihat ada beberapa perabotan lama seperti lemari besar, hiasan, dan lukisan-lukisan. Sambil menunggu, ada fasilitas kompor juga yang sudah nyala. Kebetulan mereka bawain kita Indomie. Alat-alat juga sudah ada, jadi kita langsung masak Indomie, bikin kopi atau teh.

Sekitar satu hingga satu setengah jam kemudian, sudah malam, sekitar pukul 10 atau hampir 11 malam. Semua sudah beres-beres dan siap tidur. Penjaga rumah masih stay di situ sambil ngopi. Saya rencana mau pulang paginya. Sebelum tidur, kita semua ngumpul di ruang tengah dengan sofa kulit yang mahal. Kita nongkrong di situ sambil makan mie dan minum teh atau kopi.

Saya bawa handphone jadul waktu itu, kalau nggak salah masih pakai handphone Nokia, belum era BB. Sinyal di situ tipis banget, hampir semua sinyalnya hilang. Satu-dua sinyal muncul.

Tiba-tiba handphone om saya bunyi beberapa kali. Saya disuruh ngambilin karena handphone-nya ada di kamar. Pas saya ambil, ternyata ada telepon dari tante saya, istrinya om saya. Langsung diangkat oleh om saya karena sinyalnya juga nggak gitu bagus. Om saya coba jalan ke arah pintu keluar di belakang, tapi sinyalnya hilang lagi. Dia kembali ke ruang tengah, sinyalnya cukup bagus. Ada telepon lagi dari tante saya. Om saya bilang, "Halo Ma, kita baru duduk-duduk sama anak-anak, sama Kiki juga. Kebetulan dianterin Kiki dari Jakarta ke rumah di sini di Hambalang." Tapi tidak lama, sinyalnya putus lagi.

Tante saya telepon lagi, om saya bilang, "Ya Ma, ini lagi di ruang tengah sama Kiki sama anak-anak." Tante saya tiba-tiba marah, "Loh kamu sama siapa sih?" "Lah sama siapa, ini sama Kiki sama anak-anak, pegawainya ada lima orang. Kita ada tujuh orang total plus dua penjaganya." Tante saya bilang, "Itu suara cewek." "Hah suara cewek?" "Iya, cewek, teriak-teriak." Om saya bilang lagi, "Ini sama Kiki sama anak-anak. Mana ada cewek di sini." Singkat cerita, teleponnya ditutup lagi.

Om saya penasaran, telepon lagi, di-reject. Telepon lagi, begitu nyambung, om saya coba jelasin, "Di sini cuma sama Kiki dan anak-anak." Tante saya masih belum percaya, "Itu ada suara cewek ketawa-ketawa rame banget." Om saya bilang, "Enggak ada cewek, cuma kita di sini." Telepon dimatikan lagi. Kita semua lihat-lihatan, aneh banget. Sambil bengong, kita lihat ada satu lukisan di belakang yang masih ditutup kain. Kita buka dong, yang buka salah satu penjaga tadi. Lukisan Joko Tarub sedang mengintip gadis-gadis yang mandi di air terjun. Langsung semuanya diam dan mikir, jangan-jangan suara cewek itu dari sini.

Om saya coba telepon lagi untuk jelasin, tapi malah berantem sama istrinya. Saya juga disuruh jelasin, "Iya Tante, bener, di sini nggak ada cewek. Semua cowok." Tante saya tetap nggak percaya, "Tadi saya dengar kok ada cewek ketawa-ketawa." Saya jelasin lagi, "Demi Allah, di sini nggak ada cewek." Karena belum zamannya bisa kirim foto, susah buat percaya.

Akhirnya telepon ditutup. Kita semua diam dan saya putuskan pamit sama om saya, nggak mau tidur di situ. Semua solat di kamar masing-masing dan saya minta ditemenin penjaga untuk ke mobil, dianterin sampai bawah. Agak spooky di dalam mobil menuju jalan raya ke Sentul. Sepanjang jalan itu, pas keluar dari kawasan wisma, saya lihat desa yang tadi masih rame, tapi orangnya diam di pinggir jalan. Orang-orang itu berdiri di depan pagar halaman, kulitnya putih kebiruan kena lampu mobil. Saya ngebut, sambil zikir dan baca doa, astagfirullah, astagfirullah, baca ayat kursi.

Sampai akhirnya saya ketemu jalan besar dan masuk tol. Alhamdulillah. Sepanjang jalan, saya kepikiran semoga om saya dan teman-temannya betah di sana. Besoknya mereka telepon minta dijemput. Ternyata mereka sudah dapat tempat baru. Pengalaman di Hambalang itu tetap menjadi misteri bagi kami, entah dari rumahnya yang lama tidak ditinggali atau dari lukisan Joko Tarub itu.

#MizterPopo @mizter.popo

Share cerita ini lewat Whatsapp.

#mizterpopo