KUMPULAN CERITA HOROR INDONESIA

RUMAH SIDOARJO

Aku Ragil, berasal dari Sidoarjo, Jawa Timur. Aku adalah anak keempat dari lima bersaudara. Aku punya dua kakak perempuan, satu kakak laki-laki, dan satu adik perempuan. Meskipun namaku Ragil, yang artinya ‘anak terakhir/anak bungsu’, ternyata aku bukan anak terakhir di keluargaku. Setelah aku lahir, ibuku melahirkan satu anak perempuan lagi, menggeserku dari posisi anak terakhir.

Kami sekeluarga tinggal di sebuah rumah kontrakan di kota Sidoarjo. Bapak bekerja sebagai awak kapal pesiar domestik dan internasional, yang terkadang harus pergi meninggalkan kami dalam waktu yang sangat lama. Sedangkan ibuku adalah ibu rumah tangga biasa. Saat itu, kakak pertama sudah bekerja dan tinggal bersama kakak ketiga yang juga bersekolah di kota lain yang tidak begitu jauh dari Sidoarjo. Kakak kedua juga bekerja, namun tetap tinggal di rumah kontrakan kami karena tempat kerjanya tidak jauh. Aku masih duduk di bangku SMP dan adikku di bangku sekolah dasar.

Suatu ketika, bapak mengajak ibu dan adikku untuk ikut berlayar ke Jakarta sekalian berlibur. Mereka pergi selama kurang lebih sebulan. Tinggal aku dan Mbak Tita berdua saja di rumah kontrakan ini. Rumah kontrakan kami tidak terlalu besar, namun memiliki teras dan halaman yang lumayan luas. Ada teras utama dan teras samping yang merupakan tempat parkir mobil. Sayangnya kami tidak memiliki mobil, sehingga teras samping hanya digunakan untuk parkir motor dan sepeda onthel. Di antara kedua teras ini, ada halaman yang memiliki kolam kecil untuk ikan dengan jembatan kecil di atas kolam sebagai hiasan, meskipun kolam itu kering dan tidak ada ikannya.

Mbak Tita saat itu bekerja sebagai seorang sales, dan perusahaan tempatnya bekerja menuntut Mbak Tita untuk berangkat bekerja dari pagi, dan pulangnya bisa larut malam. Terkadang Mbak Tita pulang sampai di atas jam 9 malam. Aku pun ditinggal sendirian di rumah hampir setiap hari. Aku hanya bertemu dengan Mbak Tita di pagi hari sebelum aku berangkat sekolah, dan malam ketika aku hendak tidur.

Awalnya semua baik-baik saja, namun seminggu setelah ditinggal berdua saja dengan Mbak Tita, mulai terjadi kejadian demi kejadian yang aneh dan menyeramkan di rumah. Hari itu aku ada kegiatan ekstrakurikuler sejak pulang sekolah, sehingga aku pulang terlambat dan baru sampai di rumah kontrakan sekitar jam 5 sore. Aku memutuskan untuk langsung mandi karena keringat sudah membuat badanku lengket. Biasanya aku mandi sekitar jam 3 sampai jam 4 sore saja, dan tidak pernah mandi selarut itu, sampai mendekati waktu maghrib.

Aku berjalan menuju jemuran handuk yang ada di dalam rumah, di dekat tangga menuju ke lantai 2. Di lantai 2 ada beberapa kamar, tapi sudah lama tidak digunakan. Ketika aku mengambil handuk, tanpa sengaja aku menoleh ke arah atas tangga. Saat itu juga aku membeku tidak bisa bergerak. Di atasku, aku melihat ada seorang anak perempuan yang duduk sambil menggantungkan kedua kakinya ke bawah.

Sosok anak perempuan itu berkulit pucat, rambutnya panjang, berwarna pirang dan ikal bergelombang. Sosok itu menggunakan gaun berwarna putih yang panjang dengan gaya Eropa. Yang paling menyeramkan adalah, di wajah anak perempuan yang terlihat pucat ini, sisi sebelah kirinya rusak seperti terpanggang, dengan darah yang mengering kecokelatan. Jika diperhatikan sekilas, wujudnya mirip karakter Annabelle di film Conjuring, namun sosok ini bukan boneka, dan juga berwajah rusak sebelah.

Sosok itu menggoyang-goyangkan kakinya yang tergantung di sisi tangga dan kemudian tersenyum menatapku. Sekejap aku tersadar dan aku langsung menarik handuk itu dan berlari ke kamar mandi. Dengan tergesa-gesa aku mandi sambil menyalakan lagu dari handphone-ku supaya aku menjadi lebih tenang. Ketika aku selesai, dan membuka pintu kamar mandi, sosok itu sudah tidak ada di tangga.

Sejak saat itu, aku jadi sering melihat sosok anak perempuan itu. Setiap kali aku menuju ke arah tangga di sekitar jam 5 sampai jam 6 sore, aku selalu melihat penampakan sosok mirip ‘Annabelle’ dengan wajah putih yang rusak sebelah, mengenakan gaun putih khas Eropa, dan duduk sambil menggoyang-goyangkan kaki dan tersenyum menyeramkan menatapku.

Beberapa hari kemudian, aku membuat aturan untuk diriku sendiri. Aturannya adalah aku tidak akan mandi di atas jam 5 sore. Aku nggak berani, dan malas melihat sosok ‘Annabelle’ ini yang memang selalu muncul di waktu mendekati maghrib. Dan semenjak aku membuat peraturan ini, aku tidak lagi melihat sosok itu, karena aku tidak perlu menuju ke tempat handuk yang berada di dekat tangga. Setelah maghrib, aku cukup berada di kamar, di ruang tamu, atau teras sambil menunggu Mbak Tita pulang.

Suasana rumah kembali menjadi baik saja. Tidak ada teror lain yang menggangguku selama aku sendirian di rumah menunggu kakakku pulang. Sampai beberapa hari kemudian, di hari yang sial itu, aku terpaksa melanggar aturan yang telah aku buat sendiri dan menjadikan malam itu malam mencekam yang tak dapat kulupakan.

Hari itu, sekali lagi karena ada kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, aku terpaksa pulang terlambat. Aku sampai di rumah jam setengah 6 sore, dan saat itu, karena tubuhku sangat lengket akibat keringat, aku memberanikan dan memaksakan diri untuk tetap mandi, dengan risiko aku harus melihat sosok menyeramkan itu di tangga rumah. Benar saja, saat aku mendekat ke arah tempat jemuran handuk, sosok itu sudah ada di tangga dan menatap ke arahku.

Sosok hantu ‘Annabelle’ ini selalu menatapku dengan diam. Hanya tersenyum, sambil menggoyang-goyangkan kaki. Dengan secepat kilat, aku menarik handuk dari jemuran dan langsung berlari menuju ke kamar mandi dan mengunci pintunya. Aku mandi secepat yang aku bisa dan langsung mengunci diri di kamarku. Anehnya, sejak aku mandi, atau mungkin sejak aku melihat sosok ‘Annabelle’ itu, aku merasa badanku panas, seperti sedang mengalami demam. Padahal sebelum aku mandi, aku sehat-sehat saja. Aku merasa mungkin ini ada hubungannya dengan sosok ‘Annabelle’ itu, atau kalau seperti yang orang-orang bilang, aku kena sawan.

Aku menunggu Mbak Tita pulang dalam kondisi demam yang aneh. Tapi sampai jam 10 malam, Mbak Tita tak kunjung pulang. Aku mulai merasa gelisah dan was-was. Aku merasa sangat tidak enak badan, namun aku juga mulai merasa ketakutan di dalam rumah, sampai-sampai aku tidak bisa tidur. Sudah berbagai pose tidur aku gunakan, namun kantuk tak kunjung datang juga. Aku hanya bisa berharap kakakku itu bisa segera pulang.

Tiba-tiba, aku mendengar sebuah suara. “Tok tok tok.” Suara itu bukan suara pintu rumah yang diketuk, lebih seperti suara hentakan sepatu hak tinggi yang membentur lantai, seperti suara sepatu hak tinggi Mbak Tita. Aku merasa sangat lega, dan segera aku berlari menuju ke pintu depan untuk membukakan pintu. Ketika pintu terbuka, aku tidak menemukan siapapun di depan pintu, di teras, ataupun halaman. Tiba-tiba saja, begitu aku membuka pintu, suara langkah sepatu hak tinggi itu menghilang, dan suasana langsung terasa senyap.

Aku baru sadar. Sebelum suara itu terdengar, aku memang tidak mendengar suara pagar rumah terbuka. Mana mungkin juga Mbak Tita melompati pagar menggunakan sepatu hak tinggi. Lagi pula, untuk apa Mbak Tita melakukan itu, apalagi pintu pagar tidak dikunci sama sekali. Suara itu pasti bukan ulah manusia, entah kenapa pikiran itu terbersit begitu saja. Aku kembali menutup pintu rumah dan masuk ke dalam, berharap siapapun atau apapun yang membuat suara itu di luar rumah, tidak mengikuti aku ke dalam.

Baru saja aku membalikkan badan, aku mendengar suara kencang dari dalam rumah. “Dug! Dug! Dug!” Suara itu terdengar seperti suara bagian alas dari dua ember yang dibenturkan satu sama lain, sehingga menimbulkan suara yang kencang. Rasanya lututku langsung lemas dan tidak bertenaga. Aku sangat ketakutan. Segera aku buka pintu rumah kembali, untuk berjaga-jaga apabila ada sesuatu yang terjadi, aku bisa segera kabur, melarikan diri dari rumah kontrakan ini.

Suara ember itu tiba-tiba saja berhenti. Aku menoleh ke arah dalam rumah lagi, berusaha memastikan bahwa semua sudah kembali normal. Baru saja aku hendak bernapas lega, terdengar sebuah suara dentingan nyaring. “Tinggg.” Suara itu seperti suara gelas yang berdenting. Aku menoleh ke arah dispenser yang ada di ujung ruangan, untuk memastikan sumber suara itu. Di situ aku melihat bahwa ada sebuah sendok besi yang melayang dan memukul salah satu gelas yang ada di atas dispenser. “Tinggg.” Suara itu kembali terdengar bersamaan dengan sendok yang melayang itu memukul gelas. Aku sudah tidak tahan lagi, dan aku pun memutuskan untuk langsung berlari meninggalkan rumah ini.

Aku memutuskan untuk menunggu Mbak Tita tepat di depan portal masuk ke gang perumahan. Portal ini dekat dengan rumah, karena memang portalnya tepat di samping rumah. Aku pun masih mendengar suara gelas dan ember yang terdengar samar-samar dari dalam rumah. Cukup kencang dan membuatku tak bisa tenang. Aku duduk di atas portal yang sudah diturunkan. Aku berusaha untuk mengalihkan pikiran dengan memainkan game di ponselku, sambil berharap Mbak Tita segera datang.

Tak lama aku menunggu, Mbak Tita pun tiba. Saat itu Mbak Tita masih agak jauh, namun aku yang sudah ketakutan memutuskan untuk bangkit dan menghampirinya. Ketika aku mulai beranjak dari portal, suara ember dan gelas itu tiba-tiba tak lagi terdengar. Tapi aku tak peduli, paling tidak sekarang aku sudah tidak sendirian lagi.

Mbak Tita sedikit kaget melihatku yang menunggu di portal. “Kamu mau ke mana kok di depan portal? Nunggu teman?” tanyanya padaku. Aku menggeleng, dan cuma menjawab kalau aku sedang mencari angin saja. Kami berdua pun masuk ke dalam rumah dan aku memutuskan untuk tidur di kamar yang sama dengan Mbak Tita karena aku masih takut untuk tidur sendirian. Lagipula, badanku masih terasa seperti demam, sehingga Mbak Tita mengizinkan aku tidur di kamarnya. Malam itu aku tidak bisa tidur sama sekali sampai akhirnya aku mendengar suara adzan subuh.

Sejak malam itu aku tidak pernah lagi berada di rumah saat malam tiba, dan selalu pergi ke rumah teman-temanku atau di rumah tetangga sampai Mbak Tita menelponku karena dia tak menemukanku di rumah. Anehnya, penampakan si ‘Annabelle’ dan gangguan-gangguan itu tidak pernah mengganggu Mbak Tita. Selama Mbak Tita menungguku pulang, dia tidak pernah mengalami kejadian apapun.

Beberapa hari kemudian, ibu dan adikku pulang setelah sebulan di Jakarta, dan beberapa bulan kemudian, kami pindah kontrakan ke rumah lain di gang yang berbeda. Saat itulah aku baru berani menceritakan semuanya ke ibuku, penampakan ‘Annabelle’ dan kejadian menyeramkan di malam itu. Tak disangka-sangka, ibuku punya pengalaman tersendiri di rumah itu.

Suatu ketika, ibuku terbangun di tengah malam. Ibu memutuskan untuk sholat tahajud karena saat itu juga sudah jam 3 pagi. Ibu pun berwudhu dan mengenakan mukenah. Ketika ibu selesai sholat, ibu pun berdoa sambil menutup mata. Ketika doanya selesai, ibuku mengusap wajah sambil berucap, “Aamiin,” dan langsung membuka mata. Tepat di hadapan ibuku, ada sebuah bibir, tanpa wajah dan tanpa badan, melayang menghadap ibuku.

Ibuku kaget dan langsung mengucapkan doa-doa, namun mata ibuku tidak dapat melepaskan pandangan dari sosok bibir itu. Setiap ibuku mengucapkan ayat-ayat sebagai doa, sosok bibir itu bergerak mengikuti gerakan mulut ibuku tanpa bersuara seperti mengejek. Ibuku pun kemudian melafalkan ayat kursi. Sosok bibir itu ikut melafalkan ayat kursi, juga tanpa suara. Saat ibuku sampai di ayat terakhir dalam bacaan ayat kursi, sosok itu tiba-tiba berhenti mengikuti gerak bibir ibuku. Sosok bibir itu berubah menjadi cemberut, dan kemudian menghilang begitu saja. Ibuku beristighfar dan segera melipat kembali sajadah dan mukenahnya, lalu kembali ke kamar, untuk memaksakan tidur meskipun dengan jantung yang berdegup kencang.

Beberapa bulan setelah itu, kami sekeluarga pindah kontrakan ke rumah yang berada di gang yang berbeda, namun masih satu perumahan. Sampai saat ini, kejadian ini masih teringat di ingatanku. Sejak pindah kontrakan, kehidupanku kembali normal. Namun rumah kontrakan lamaku itu sampai sekarang masih terkenal angker dan sudah beberapa kali ada yang mengontrak, tapi tidak ada yang bertahan lama. Paling lama hanya bertahan satu sampai dua bulan dan setelahnya rumah itu kosong kembali.

@fbhnch

#FebhanaNochaPutra